anak bodoh...
Dan kamu, anak bodoh, melangkah menjauh dari kehidupan, kosong kamu menatap horison yang terbentang di hadapanmu. Hela nafas semakin memburu, tercekik oleh hasratmu, kamu diam termenung menggapai bayangan fana yang terus mengambang mengelilingi sukmamu. Sanubari tercekat mendengar gelak tawa realita yang membahana di sekujur tubuhmu, memantulkan sebuah nama yang terus kamu bisikkan di setiap dinding benakmu.
Hasrat adalah harapan, kamu terus meyakini dirimu dengan tetap berlari melintasi setiap batasan ruang dan waktu, menuju sebuah tempat yang kamu lukis dalam mimpimu. Berhentilah sejenak, anak bodoh. Demi sekuntum mawar kamu merelakan setiap venamu dipenuhi duri tajam. Darah menetes di ujung kelopakmu, menutupi pengelihatanmu dengan tirai merah pekat.
Apa yang kamu cari, anak bodoh? Sadarkah kamu kehidupanmu adalah fatamorgana yang menyesatkan? Apa yang kamu akan lakukan ketika perih sudah lekat merekat di jiwamu? Jantungmu berdegup keras bak genderang perang tertabuh di bawah bendera putih, menanti mati yang kamu harapkan semenjak kamu lahir.
Batin merana, merintih perlahan, lelah berteriak tanpa digubris akalmu. Kamu bertahan didera tiupan angin yang kamu tiup sendiri, goyah di tengah sengatan kerikil yang kamu lempar sendiri. Kamu tahu tangismu sudah mengering di bawah terik mataharinya.
Dan kamu, anak bodoh, tetap terus melangkah ke sana...
Hasrat adalah harapan, kamu terus meyakini dirimu dengan tetap berlari melintasi setiap batasan ruang dan waktu, menuju sebuah tempat yang kamu lukis dalam mimpimu. Berhentilah sejenak, anak bodoh. Demi sekuntum mawar kamu merelakan setiap venamu dipenuhi duri tajam. Darah menetes di ujung kelopakmu, menutupi pengelihatanmu dengan tirai merah pekat.
Apa yang kamu cari, anak bodoh? Sadarkah kamu kehidupanmu adalah fatamorgana yang menyesatkan? Apa yang kamu akan lakukan ketika perih sudah lekat merekat di jiwamu? Jantungmu berdegup keras bak genderang perang tertabuh di bawah bendera putih, menanti mati yang kamu harapkan semenjak kamu lahir.
Batin merana, merintih perlahan, lelah berteriak tanpa digubris akalmu. Kamu bertahan didera tiupan angin yang kamu tiup sendiri, goyah di tengah sengatan kerikil yang kamu lempar sendiri. Kamu tahu tangismu sudah mengering di bawah terik mataharinya.
Dan kamu, anak bodoh, tetap terus melangkah ke sana...
Labels: prosa